Ragam
BSU Dinilai Solusi Jangka Pendek

Partai Buruh Minta Pemerintah Fokus pada Kebijakan Struktural
Jakarta, pantausidang – Soal BSU – Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh mengkritik kebijakan Bantuan Subsidi Upah (BSU) dari pemerintah sebesar Rp600.000 untuk dua bulan kepada buruh, guru, dan tenaga honorer dengan gaji di bawah Rp3,5 juta. Meski menyambut baik sebagai bentuk stimulus ekonomi, namun kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan langkah pemerintah ini patut mendapat apresiasi karena dapat mendorong daya beli masyarakat.
Tetapi, ia menilai skema BSU yang berlaku selama dua bulan tidak menyelesaikan masalah secara struktural.
“Sebagai pemimpin buruh dan perwakilan kaum pekerja, kami mengapresiasi stimulus ini. Tapi ini hanya solusi jangka pendek demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi, bukan kualitas hidup buruh,” ujar Iqbal dalam siaran pers, Rabu (11/6).
BSU Berhenti Daya Beli Turun Kembali
Said Iqbal menilai, begitu penyaluran BSU berhenti, daya beli buruh pasti akan kembali menurun. Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu mendorong langkah lebih mendasar seperti menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi minimal Rp7,5 juta hingga Rp10 juta.
“Jika PTKP naik, penghasilan bersih buruh meningkat dan otomatis konsumsi naik. Ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencegah gelombang pemutusan hubungan kerja,” katanya.
Keterbatasan Penerima BSU
Koalisi ini juga menyoroti keterbatasan penerima BSU yang hanya bagi buruh peserta BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, jutaan buruh tidak terdaftar karena kelalaian pengusaha, bukan karena kehendak buruh sendiri.
“Ini tidak adil. Banyak buruh rentan justru tidak mendapatkan hak karena tidak tercatat di BPJS. Pemerintah seharusnya memperluas cakupan, bukan membatasi,” ucap Iqbal.
Selain itu, Koalisi Serikat Pekerja-Partai Buruh meminta agar mekanisme penyaluran dana BSU secara transparan dan akuntabel.
Mereka mengusulkan agar pencairan dana langsung dari rekening Kementerian Keuangan ke rekening penerima tanpa perantara.
“Dengan anggaran hampir Rp10 triliun, potensi penyalahgunaan sangat besar. Tidak perlu penyaluran tunai atau melalui banyak lembaga. Gunakan data BPJS dan Kemendikbud untuk transfer langsung,” tegasnya.
Iqbal menegaskan, kebijakan jangka pendek seperti BSU tidak boleh menjadi satu-satunya strategi negara dalam menghadapi krisis daya beli.
Ia mendesak Pemerintah membangun sistem perlindungan sosial yang adil, menyeluruh, dan tidak diskriminatif terhadap buruh, guru, dan tenaga honorer di seluruh Indonesia.
Program sejak Pandemi
Sebagai Informasi program BSU telah menjadi salah satu instrumen fiskal pemerintah sejak pandemi COVID-19 untuk menjaga konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat, terutama kalangan pekerja informal dan sektor rentan.
Namun, sejak awal pelaksanaannya, skema penyaluran BSU kerap dikritik karena hanya menyasar pekerja formal peserta BPJS Ketenagakerjaan, padahal data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan lebih dari 50% tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal dan tidak memiliki jaminan ketenagakerjaan.
Di sisi lain, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021 pernah menyebut adanya ketidaktepatan sasaran dalam penyaluran BSU serta lemahnya pengawasan.
Hal ini mendorong desakan agar skema bantuan sosial lebih inklusif dan berbasis data multisumber agar tidak terjadi pengulangan kekeliruan di masa mendatang. *** (Red)
Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.
-
Saksi3 minggu ago
Sidang Kredit Fiktif: Rp57 Miliar Lenyap di Unit BRI Menteng Kecil
-
Saksi3 minggu ago
Bobol Kredit Fiktif, Terdakwa Mengaku Kuasai Ratusan PIN ATM BRI
-
Tuntutan4 minggu ago
Ahmad Taufik dan Siti Fatimah Korupsi APD Covid-19, Negara Rugi Rp319 Miliar
-
Dakwaan4 minggu ago
Lagi, Seorang Pejabat Bank BRI Cabang Tanah Abang Didakwa Korupsi Rp17,2 Miliar