Connect with us

Scripta

Etika Komunikasi – Pertamax Oplosan Pertamina

Published

on

Oleh: Muh. Yahya Saraka

Manager of Media & Research Publications Katong Indonesia
Dosen Etika Komunikasi dan Komunikasi Politik Universitas PTIQ Jakarta

Sejak Kejaksaan Agung membongkar kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023 oleh Pertamina Patra Niaga, anak usaha PT Pertamina, publik pun bereaksi kritis dengan bersuara di media sosial hingga aksi pindah stasiun pengisian BBM ke kompetitor Pertamina. Realitas ini membuat Pertamina bereaksi cepat dengan melakukan serangkaian upaya komunikasi publik untuk mengklarifikasi sekaligus meredam efek domino dari kasus ini demi menjaga nama baik Pertamina, mengendalikan narasi negatif, hingga mengembalikan kepercayaan konsumen.

Di saat bersamaan, upaya komunikasi publik tersebut justru menimbulkan masalah lain semisal pola narasi yang terkesan defensif seperti pernyataan Pelaksana Tugas Harian (Pth) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra yang mengklaim bahwa tidak ada pengoplosan dan hanya menambah zat aditif pada BBM Pertamax untuk meningkatkan kualitas.

Masih dalam tensi defensif, Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyatakan bahwa narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan kejaksaan. Bahkan dia menegaskan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Lebih jauh, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pun turut serta menampik isu pengoplosan BBM Pertamax itu dengan sejumlah pernyataan di media, serta ada upaya meminta sejumlah content creator dan publik figur untuk mengajak konsumen agar tidak berpindah ke kompetitor dan menjelaskan bahwa semua baik-baik saja.

Sejumlah peristiwa ini menimbulkan masalah etik dari perspektif komunikasi seperti adanya upaya Pertamina untuk menghindari kritik publik, cenderung menutupi substansi masalah terkait kasus pengoplosan, dan menghadirkan informasi yang terkesan kontroversial dan politis berkaitan dengan penemuan Kejagung. Padahal, dalam pandangan Sidney Hook, tidak ada sesuatu dan tidak seorang pun yang kebal terhadap kritikan.

Sidney Hook menegaskan bahwa dalam kontroversi politik, tidak ada pihak yang kebal dari kritik dan setiap entitas yang terlibat dalam suatu kasus memiliki tanggung jawab intelektual untuk menyampaikan fakta secara transparan. Namun, komunikasi yang dilakukan Pertamina lebih banyak berorientasi pada pembelaan diri daripada keterbukaan informasi.

Lebih lanjut, dalam pandangan Karl R. Wallace, terdapat empat pedoman etika komunikasi dalam demokrasi, yakni, Habit of Search (mencari kebenaran), ditunjukkan dengan komunikasi publik yang harus diarahkan pada pengungkapan fakta yang akurat dan transparan. _Habit of Justice_ (keadilan informasi), di mana masyarakat berhak mendapatkan informasi yang adil dan lembaga penanggung jawab dapat dievaluasi secara independen. Habit of Public Interest (mengedepankan kepentingan publik), proses komunikasi harus mengutamakan kepentingan publik, bukan hanya melindungi citra korporasi. Habit of Respect Differences of Opinion (menghormati perbedaan pendapat), di mana perusahaan harus terbuka terhadap kritik dan diskusi yang konstruktif.

Dalam kasus ini, komunikasi Pertamina tampak kurang memenuhi prinsip habit of search dan habit of justice karena lebih berfokus pada menyangkal tuduhan daripada memberikan transparansi data. Ini berpotensi menghambat proses pencarian kebenaran yang seharusnya menjadi bagian penting dari etika komunikasi politik. Dari segi habit of public interest, komunikasi yang dilakukan Pertamina belum sepenuhnya memberikan rasa percaya kepada masyarakat bahwa perusahaan memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan korporasi. Pernyataan yang hanya menolak tuduhan tanpa membuka data atau mekanisme internal yang memastikan tidak adanya praktik curang membuat publik semakin skeptis.Terakhir, dalam habit of respect differences of opinion, Pertamina tampaknya kurang membuka ruang bagi dialog yang konstruktif. Alih-alih menjelaskan dengan lebih rinci, komunikasi yang dilakukan masih berfokus pada mempertahankan posisi mereka, tanpa memberikan landasan kuat yang bisa memfasilitasi diskusi publik yang lebih objektif.

Kasus dugaan pengoplosan BBM ini seharusnya tidak hanya dilihat sebagai permasalahan hukum semata, tetapi juga sebagai ujian bagi etika komunikasi politik bagi korporasi pelat merah ini. Jika mengacu pada konsep etika Sidney Hook dan Karl R. Wallace, strategi komunikasi Pertamina dalam merespons kasus ini masih belum memenuhi standar transparansi, keadilan informasi, dan kepentingan publik.

Sebagai solusi, Pertamina dapat mengadopsi prinsip Karl R. Wallace dalam praktik komunikasi publiknya, dengan meningkatkan transparansi yang selaras dengan konsep Habit of Search, di mana Pertamina perlu secara aktif membuka data mengenai kualitas BBM, standar produksi, dan mekanisme pengawasan agar publik mendapatkan informasi yang jelas dan akurat. Kemudian, menjunjung keadilan informasi yang selaras dengan Habit of Justice. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengeluarkan pernyataan publik yang mengandung fakta objektif dan dapat diverifikasi, bukan hanya berfokus pada penyangkalan yang defensif. Berikutnya, Pertamina perlu mengedepankan kepentingan publik atau Habit of Public Interest, dengan melakukan komunikasi yang harus mencerminkan keberpihakan terhadap kepentingan konsumen atau masyarakat dengan memastikan bahwa mereka mendapatkan produk dan layanan sesuai standar. Terakhir, Pertamina perlu membuka ruang dialog yang sejalan dengan konsep _Habit of Respect Differences of Opinion_, di mana Pertamina sebaiknya mengadakan forum diskusi terbuka dengan masyarakat, pakar energi, dan media untuk menjawab kekhawatiran publik secara komprehensif.

 

Dalam konteks demokrasi yang sehat, komunikasi publik oleh institusi besar seperti Pertamina harusnya didasarkan pada keterbukaan dan tanggung jawab, bukan sekadar penyangkalan atau pertahanan diri. Jika Pertamina ingin mempertahankan kepercayaan masyarakat, mereka perlu memberikan klarifikasi yang lebih berbasis data, terbuka terhadap diskusi publik, dan menunjukkan komitmen nyata terhadap integritas tata kelola BBM di Indonesia.*** Red

Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.

Advertisement

Facebook

Tag

Trending