Opini
Fahri Bachmid : Penundaan Pemilu merupakan Constitution Disobedience “Pembangkangan Konstitusi”
konsep usulan penundaan Pemilu yang disampaikan oleh interest group tersebut setelah ditelaah secara mendalam dan cermat, ternyata mempunyai potensi pelanggaran
Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan Publik yang di isi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu. Sebab tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu.
“Jika memang dipandang perlu dan penting untuk harus diatur suatu mekanisme serta jalan keluar konstitusional jika terjadi keadaan hukum Krisis konstitusional “Constitutional crisis” jika Pemilu tidak terselengara sebagaimana perintah konstitusi karena terjadi beberapa keadaan seperti terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan, bencana alam dan lain-lain, sehingga berakibat pada tidak terselenggaranya pelaksanaan Pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan publik tertentu, sehingga perlu di fikirkan untuk diberikan kewenagan atributif kepada MPR untuk dapat menetapkan penundaan Pemilu sampai pada batas waktu tertentu,
“Maka idealnya perumusan serta dilakukannya melalui amandemen UUD 1945 untuk memberikan kewenagan untuk menunda Pemilu itu secara atributif kepada MPR, tentunya harus dilakukan melalui sebuah proyeksi perubahan UUD 1945, tetapi tidak dimaksudkan untuk menampung serta mengakomodasi situasi politik kontemporer saat ini,” jelasnya.
Sebab, perkembangan dan dinamika hukum tata negara saat ini dengan alasan-alasan Penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang konstruktif dengan mengedepankan ketaatan serta tertib melaksanakan perintah konstitusi, kemudian gagasan Penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi bukan termasuk alasan yang “indispensable” untuk dilakukan amandemen.
Asumsi ini dapat dikesampingkan, karena secara empirik Indonesia sangat sukses melaksanakan perhelatan pesta demokrasi lokal (Pilkada) ditengah pendemi pada tahun 2020. Dan secara teknis tidak ada hambatan yang signifikan untuk merealisir hajatan demokrasi itu, sepanjang mengenai usulan jalan keluar untuk mengantisipasi kebuntuan konstitusi jika terdapat keadaan “Staatsnoodrecht” atau setidak-tidaknya keadaan yang dapat dikualifisir sebagai “Overmacht atau Force Majeure”.
“Sehingga Pemilu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana usulan dan pandangan Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 untuk menambah beberapa ayat pada kententuan pasal 22E.
Ini merupakan jalan keluar yang sangat solutif, dan idelanya harus diatur dalam konstitusi yang dibuat berdasarkan proyeksi perubahan yang terukur dengan cara amandemen UUD 1945 melalui sidang umum MPR, tetapi bukan untuk keadaan saat ini. Hal itu dapat dilakukan pada saat anggota MPR yang baru produk Pemilu 2024, agar tingkat legitimasinya lebih kredible,“ katanya.
Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.
-
Dakwaan4 minggu ago
Kasus Emas Antam: Saksi Ungkap Budi Said Marah karena Merasa Ditipu Eksi Anggraini
-
Daerah4 minggu ago
Sinergitas Pusat Daerah Transisi Suksesi Kepemimpinan
-
Ragam4 minggu ago
Jaksa Agung ST Burhanuddin Dilaporkan IAW ke KPK dan 7 Lembaga Lainnya: Dugaan Manipulasi Data Riwayat Pendidikan Muncul
-
Nasional1 minggu ago
Road Show Cagub dan Cawagub Jawa Tengah Andika Hendi ke Kabupaten Blora, Kunjungi Posko Relawan SAH Blora