Ragam
Jaksa Agung: Konsep Keadilan Restoratif Bentuk Alternatif Selesaikan Perkara diluar Pengadilan
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif oleh Kejaksaan ini diharapkan akan memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum
Pantausidang, Jakarta – Jaksa Agung RI Burhanuddin menyebutkan bahwa konsep Keadilan Restoratif merupakan alternatif penyelesaian perkara di luar Pengadilan untuk dapat mengembalikan harmoni di masyarakat dan mengembalikan pada kondisi sebelum kerusakan timbul akibat adanya tindakan pidana.
“Dengan demikian, pada dasarnya keadilan restoratif dilakukan melalui kebijaksanaan dan pengalihan, yaitu pemindahan dari proses penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana atau litigasi ke proses penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah atau mediasi,” ucap Burhanuddin melalui surat elektronik yang diterima Pantausidang.com, Selasa, (19/7/2022).
Jaksa Agung menjelaskan bahwa penyelesaian melalui mediasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Bahkan hukum adat di Indonesia dalam menyelesaikan masalah hukum baik pidana maupun perdata dapat diselesaikan dengan musyawarah. Dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.
“Dalam hal ini, sesungguhnya keadilan yang hendak dicapai adalah hasil gagasan maupun nilai-nilai leluhur suatu bangsa yang terkandung di dalam falsafah Pancasila,” jelasnya.
Menurut Burhanuddin, pergeseran paradigma pemidanaan dari pembalasan menjadi pemulihan dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia, hingga saat ini masih belum ada keseragaman.
Karena setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung memiliki aturan tersendiri dalam penerapan keadilan restoratif.
“Padahal dalam penegakan hukum semua sub sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, yang tujuan utamanya adalah mencapai rasa keadilan dalam masyarakat,” ujarnya.
Jaksa Agung melanjutkan, belum adanya keseragaman mengenai pendekatan keadilan restoratif oleh sub sistem dalam sistem peradilan pidana pada akhirnya akan mengesampingkan konsepsi Negara Hukum yang diatur dalam Konstitusi Indonesia.
“Karena masing-masing institusi memiliki pandangan masing-masing, padahal konsepsi Negara Hukum mengatur setiap tindakan penyelenggara negara termasuk aparatur penegak hukum harus berdasarkan hukum positif berlaku di Indonesia,” lanjutnya.
Untuk itu Kejaksaan mendorong terbentuknya payung hukum dalam pengaturan keadilan restoratif dalam regulasi hukum positif di Indonesia, agar konsolidasi keadilan restoratif di Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
Burhanuddin menghimbau kepada para akademisi dan praktisi yang akan berdiskusi terkait konsolidasi keadilan restoratif di Indonesia, bahwa yang terpenting dalam konsolidasi ini adalah apakah regulasi keadilan restoratif yang sekarang berlaku telah mengakomodir nilai-nilai universal dari pendekatan restoratif.
“Selanjutnya adalah bagaimana para praktisi dan akademisi dapat menggali nilai-nilai pendekatan keadilan restoratif yang sesuai dengan kearifan lokal Indonesia, dan yang terakhir adalah bagaimana upaya mewujudkan nilai-nilai keadilan restoratif sebagai inti sari nilai kearifan lokal dalam berbagai regulasi tentang keadilan restoratif di Indonesia,” tuturnya.
Dalam pertemuan tersebut, Jaksa Agung ingin mendorong agar sinergitas, kerja sama dan kolaborasi yang baik antara praktisi dan akademisi semakin ditingkatkan, mengingat stakeholders dalam penegakan hukum dapat menjadi agen perubahan yang memiliki peran strategis dalam mendorong arah perubahan pembangunan hukum nasional sebagai pelaksanaan dalam pencapaian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
“Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk berkenan tetap menjaga dan memupuk rasa idealisme dalam pelaksanaan dan konsolidasi keadilan restoratif yang bernurani berdasarkan kearifan lokal menuju pencapaian keadilan hakiki yang diharapkan masyarakat,” tegasnya.
Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi sebagai bentuk responsivitas Kejaksaan dalam mengakomodir hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pembentukan aturan ini bertujuan untuk mewujudkan pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan keseimbangan, perlindungan serta kepentingan korban dan kewajiban pelaku terhadap korban.
“Konsep pemulihan dalam hal ini juga bertujuan memberikan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat. Oleh karena itu, keadilan yang dilandasi perdamaian pelaku, korban dan masyarakat yang menjadi moral etik keadilan restoratif, karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan,” ujar Jaksa Agung.
Sebelumnya, Jaksa Agung menuturkan terkait dalam aturan tersebut Kejaksaan mengakomodir nilai dari keadilan restoratif, yaitu proses pelaksanaan keadilan restoratif yang dilakukan dengan Penuntut Umum selaku fasilitator yang kompeten dan tidak memihak, berusaha untuk terbuka atau inklusif.
Dan kolaboratif dalam mencari jalan tengah penyelesaian perkara yang membutuhkan partisipasi dari para pihak yang bersengketa, dengan tetap mengedepankan rasa menghargai dan fokus pada kebutuhan penyelesaian perkara, khususnya kepentingan korban dan penegasan terhadap kewajiban pelaku.
“Dengan mengakomodir nilai-nilai dasar keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif oleh Kejaksaan ini diharapkan akan memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum,” tuturnya.
“yang pada akhirnya diharapkan ke depannya tindak pidana serupa tidak akan diulangi, secara khusus oleh pelaku, dan secara umum bagi masyarakat,” sambung Jaksa Agung.
Secara umum dalam aturan tersebut terdapat 3 syarat prinsip dan 3 syarat tambahan dalam pelaksanaannya, antara lain:
Syarat utama:
a). Tersangka/pelaku baru pertama melakukan tindak pidana;
b). Tindak pidana yang dilakukan diancam pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; dan
c). Kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Syarat tambahan:
a). Adanya pemulihan kembali dari pelaku kepada korban (misalnya penggantian kerugian);
b). Telah ada kesepakatan damai antara korban dan pelaku;
c). Masyarakat merespons dengan positif.
Hal itu disampaikan Jaksa Agung yang menjadi keynote speaker pada Selasa, 19 Juli 2022 secara virtual di Gedung Menara Kartika, pada Seminar Nasional dalam rangka Hari Bhakti Adhyaksa ke-62 Tahun 2022 dengan topik “Konsolidasi Keadilan Restoratif Indonesia”.
Para narasumber yang turut serta yaitu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Dr. Fadil Zumhana, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pudjiono, S.H., M.H., Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Prof. Dr. Suparji Ahmad, S.H., M.H.
Kemudian, Peneliti Kebijakan Publik URS Andreas N. Marbun, S.H., LLM., UNODC Country Manager Indonesia Office Mr. Collie Brown, Peneliti Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D. ***Muhammad Shiddiq
Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.
-
Dakwaan4 minggu ago
Kasus Emas Antam: Saksi Ungkap Budi Said Marah karena Merasa Ditipu Eksi Anggraini
-
Daerah4 minggu ago
Sinergitas Pusat Daerah Transisi Suksesi Kepemimpinan
-
Ragam4 minggu ago
Jaksa Agung ST Burhanuddin Dilaporkan IAW ke KPK dan 7 Lembaga Lainnya: Dugaan Manipulasi Data Riwayat Pendidikan Muncul
-
Nasional1 minggu ago
Road Show Cagub dan Cawagub Jawa Tengah Andika Hendi ke Kabupaten Blora, Kunjungi Posko Relawan SAH Blora