Connect with us

Healthy

Kesehatan Mental Fondasi Resiliensi Anak

Published

on

Profesor Maila Dinia Husni Rahiem (kiri) dan Profesor Lysann Zander (kanan) saat talkshow singkat dalam cara Hari Kesehatan Mental Sedunia Bertahan, Beradaptasi, Bangkit” yang diselenggarakan Dharmaila Center. (Foto: Dok. Tim Dharmaila Center.)

Profesor Maila dengan lugas menuturkan, riset menunjukkan bahwa 55% depresi bisa dikurangi dan diturunkan jika seseorang mendapatkan sosial yang memadai dari masyarakat dan lingkungan sekitar termasuk keluarga dan guru. Bahkan, ketika dukungan emosional, informasional, interaksi positif, serta bantuan nyata hadir bersamaan, peluang depresi dapat turun jauh lebih besar (Choi dkk., 2023; Gariépy, Honkaniemi, & QuesnelVallée, 2016). Menurut Profesor Maila, peringatan Hari Kesehatan Mental Dunia setiap 10 Oktober pun menguatkan pesan penting tersebut sebagaimana dilansir World Health Organization (2025).

“Selama ini masyarakat kita belum secara terbuka berbicara tentang kesehatan mental. Nah dengan kegiatan ini dengan tema “Bertahan, Beradaptasi, Bangkit”, kita ingin anak-anak kita memiliki kesehatan mental dengan menumbuhkan resiliensi,” ujar Profesor Maila.

“Resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan, tetap menyalakan api harapan, beradaptasi menggunakan apa yang ada dalam diri untuk fleksibel dan menyesuaikan diri, dan kemudian bangkit untuk menjadi lebih baik,” sambung Profesor Maila.

Profesor Maila menyatakan, defenisi resiliensi tersebut dia rumuskan berdasarkan pada riset yang dulu dia lakukan terhadap 27 anak penyintas tsunami dan gempa Aceh 2004. Lebih lanjut dia berujar, riset lintas negara yang dilakukan bersama Profesor Lysann pun diimplementasi dengan memperluas eksplorasi ke ranah seni untuk menumbuhkan pengalaman “merasa dilihat” lintas budaya serta bukan semata di kelas tetapi juga di ruang komunitas, keluarga, dan panggung publik.

“Tujuannya sederhana dan kuat, yaitu meningkatkan rasa aman psikologis, efikasi diri, dan resiliensi yang dapat dirasakan langsung oleh anak, remaja, dan dewasa muda dalam beragam konteks,” ungkapnya.

Dia mengaku akan terus menyuarakan dan menyalakan harapan agar anak-anak memiliki resiliensi. Utamanya, resiliensi secara mental dengan anak memiliki kesadaran, kemampuan bertahan dalam situasi yang sulit, kemampuan terus menyalakan harapan, tetap berpikir positif bahwa akan ada kebaikan setelah segala kemalangan terjadi, bisa menyesuaikan diri dengan apa yang mereka miliki, hingga kemudian bangkit menjadi lebih baik di masa depan.

Profesor Maila mencontohkan, seorang anak korban perundungan (bullying) sebenarnya bisa menumbuhkan resiliensi dalam dirinya. Anak tersebut, dengan energi dan pikiran positif mendorong dirinya dan menyalakan api harapan bahwa sang anak harus bisa tidak menjadi korban lagi. Anak tersebut kemudian beradaptasi dengan cara bahwa sang anak tidak mau menjadi korban perundungan lagi, maka sang anak harus berani bersikap dan bersuara kepada temannya yang melakukan perundungan, melapor kepada guru, dan melapor kepada orang tua.

“Melapor kepada guru dan melapor kepada orang tua itu adalah proses adaptasi dan proses menyelamatkan diri agar tidak terjadi lagi bullying,” tuturnya.

Sementara Profesor Lysann Zander berbagi gagasan tentang cara mengubah situasi menantang menjadi kekuatan kreatif. Dia menautkan pengalamannya dalam melukis dan dua dekade menulis lagu untuk menekankan pentingnya keheningan, kejujuran dalam mendengarkan diri sendiri, dan tindakan kecil yang dilakukan secara rutin baik sendiri, bersama orang tepercaya, maupun dalam kelompok.

Profesor Lysann juga mengajak para peserta mencoba latihan singkat, memahami bagaimana kebiasaan melatih diri membangun resiliensi, serta diingatkan untuk merawat tubuh sebagai “instrumen pertama”. Baginya, sesi ini mengundang ekspresi autentik dan kesaksian komunitas tanpa perlu mengejar kesempurnaan.

“Praktik sederhana dan konsisten dapat mentransformasikan frustrasi, duka, dan rasa takut menjadi koneksi dan ketenangan,” kata Profesor Lysann.

Tiga Buku, Satu Anyaman Naratif

Profesor Maila Dinia Husni Rahiem menuturkan, tiga buku cerita anak karyanya lahir dari perhatian yang sederhana, yakni anak belajar paling baik ketika kata berubah menjadi gerak, napas berubah menjadi tenang, dan pengalaman berubah menjadi makna. Dia merancang Kimo, Jessie, dan Piko sebagai satu anyaman yang memupuk keberanian, kemandirian, dan kegembiraan yang dirawat sehari-hari yang menjadi tiga jalur kecil menuju resiliensi dan thriving.

Sesi story telling dua buku cerita anak karya Profesor Maila Dinia Husni Rahiem dan awarenes exploration oleh ANAHATA dan SOMAYOGINI (Nandinne, Jane, Anneke). Foto: Dok. Tim Dharmaila Center.

Jika disatukan, kata Profesor Maila, ketiga cerita ini bekerja seperti tiga benang yang saling menguatkan. Kimo menata keberanian agar anak berani mencoba lagi ketika takut. Piko melatih kemandirian yang bertanggung jawab dengan melangkah kecil namun konsisten sembari tetap terhubung. Jessie merawat kegembiraan yang stabil melalui ritme harian yang hangat. Jembatan bersama di antara ketiganya adalah napas: satu tangan di dada, satu di perut, hitung pelan, hembus lebih panjang.

“Ketika orang dewasa membacakan dengan prosodi hangat dan jeda yang pas, terjadi coregulation, ketenangan orang dewasa menular ke anak. Lama-lama, ketenangan itu menjadi milik anak sendiri,” kata Profesor Maila.

Dia berpandangan, bagi anak sebenarnya pola yang terduga menghadirkan rasa aman. Karena itu, kalimat yang ia pergunakan berbentuk pendek, berirama, dan memakai mantra tiga kata. Onomatope kecil berupa “deg-deg”, “kepak”, dan “hap” pun membuat kata terasa di tubuh. Napas menjadi jembatan dari kognitif ke pengalaman. Bagi Profesor Maila, ketika orang dewasa membaca dengan prosodi hangat dan jeda teratur, maka sistem saraf anak mengikuti.

“Cerita yang kita perkenalkan hari ini ibarat cara sederhana untuk mengenalkan atau mengajarkan secara dini kepada anak-anak dengan harapan menjadi co-regulation yang pelan-pelan tumbuh menjadi selfregulation,” tandas Profesor Maila.

Suasana Talkshow

Suasana talkshow bersama Profesor Maila Dinia Husni Rahiem dan Profesor Lysann Zander. Foto: Dok. Tim Dharmaila Center. *** (Red – Sabir).

Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.

Laman: 1 2

Jurnalis Senior | Penulis Buku "Metamorfosis Sandi Komunikasi Korupsi" | Penulis Trilogi Buku "Membendung Korupsi Demi Negeri" | Editor & Co-writer Buku "Potret Business Judgment Rule: Praktik Pertanggungjawaban Pengelolaan BUMN"

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply

Advertisement

Facebook

Hari Hak Untuk Tahu Sedunia .. tapi kok mau tanya dibatasi?

Tag

Trending