Ragam
Situasi dan Refleksi Warga Keturunan di Belakang Superblock Chandra Naya
Sebelum pandemic covid, kalau sedang beruntungan, ada saja pemilik kendaraan yang menyelipkan uang Rp 10 – 20 ribu untuk jasa parkir di depan toko-toko.
Rata-rata, pengendara bayar Rp 5000 (lima ribu rupiah) saja.
“Kalau preman lihat, saya dapat Rp 20.000, mereka pasti minta jatahnya. Saya kasih Rp 5000 (lima ribu rupiah). Saya nggak punya keahlian, bahkan tidak bisa baca, tidak bisa menulis. Satu-satunya pekerjaan, seperti sekarang ini, menjadi tukang parkir dan jaga warung,” kata Wie Cham.
Ia sebetulnya penduduk asli ‘cluster’ Petak Mayor, yang berada di belakang Chandra Naya sejak tahun 1960 an. Waktu Pemerintahan Presiden Soekarno menerbitkan PP 10/1959, dimana ratusan ribu WNA Tiongkok dipulangkan ke negeri leluhurnya, salah satunya Bapak kandungnya.
Waktu itu juga terjadi kerusuhan di seputar Petak Sembilan Glodok, sehingga Bapaknya memilih pulang ke Tiongkok. Tetapi Ibunya memilih untuk tetap tinggal di Glodok.
“Masih terngiang, cerita Ibu dan kedua kakak saya. Ketika Bapak saya meninggalkan kami, menuju pelabuhan Tanjung Priok, saya baru berumur dua tahun. Tapi Ibu dan kakak saya sempat menceritakan. Saya masih membayangkan sampai sekarang, kalau saya ikut Bapak saya pulang ke Tiongkok. Bayangan saya, mungkin saya jadi tentara nasional Tiongkok,” kenangnya.*** Liu
Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.
-
Dakwaan4 minggu ago
Eks Dirut Dapen Bukit Asam Akui Beli Emas Rp9 Miliar
-
Tersangka4 minggu ago
KPK Tahan Eks Dirut PT Taspen
-
Saksi4 minggu ago
Dirut PT Pacific Sekuritas Indonesia Edy Soetrisno Diperiksa KPK Soal Kasus Korupsi PT Taspen
-
Tersangka3 minggu ago
KPK Sita Barang Bukti Kasus Taspen Senilai Rp.20 Miliar