Connect with us

Profil

Edisi Wawancara Khusus dengan Jusuf Hamka-part 1

Edisi Khusus dengan Jusuf Hamka, pengusaha sukses lahir di Sawah Besar, 5 Desember 1957 dengan nama Alun Joseph. Ia mendapatkan nama Jusuf Hamka pada 1981

WAWANCARA exclusive – Edisi Khusus dengan Jusuf Hamka, seorang pengusaha sukses yang lahir di Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada 5 Desember 1957 dengan nama Alun Joseph. Ia mendapatkan nama Jusuf Hamka saat dirinya menganut agama Islam pada 1981.

Redaksi temu untuk wawancara dengan suasana rileks di kantornya yang mengoperasikan jalan tol. Ia menjawab secara lugas berbagai pertanyaan seputar sepak terjangnya untuk berbagai kegiatan bisnis, keagamaan, social kemasyarakatan dan lain sebagainya. Berikut ini kutipannya.

Bagaimana posisi pengusaha etnis Tionghoa dalam perpolitikan di Indonesia?

Survey terbaru/update, dari aspek kesukaan (terhadap figure/tokoh masyarakat), 98,3%, respons masyarakat di seluruh Indonesia menyukai pengusaha Jusuf Hamka, dan 97 sekian persen, (responden) memilih figure Dr. Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, Lc., M.A. saya nggak punya target untuk calon presiden atau wakil presiden, tapi rakyat apresiasi saya di atas TGB dengan (hasil survey) di atas 1 persen.

Saya Tionghoa, dan TGB bukan Tionghoa, (hasil survey) saya di atas beliau, tapi tugas saya belum selesai, saya tidak bangga, dan bukan mau bertindak tidak keruan, ini untuk semua orang Tionghoa, perilaku harus baik.


Keislaman pak JH, karena personal branding Islami seperti Podjok Halal, Masjid Babah Alun, dll?

Saya tidak bisa menilai (keislaman) saya, tapi Allah yang menilai. Menurut saya, saya bangun Masjid, ciri khas oriental Chinese, Chinese look, saya mau menyebarkan Syiar Islam, kami juga mau menunjukkan, Chinese tidak anti Islam, tapi sebaliknya kami sangat dekat. Kami jual nasi kuning Rp 3000/bungkus, sehingga (nilai) subsidinya Rp 7000.


Sementara harga nasi kuning di luar Rp 10.000. Di India, ada program dapur umum yang sudah 500 tahun berjalan. Ukuran dapur umumnya besar, sehari memberi makan 100 ribu orang, tapi makan di tempat.

Saya berpikir dan sudah bicara, agar segera bikin (dapur umum seperti di India). (lokasi dapur umum) sebelum Depok, ada daerah Krukut, kelurahan Sawangan.

Saya punya tanah seluas 15 hektar, mau bikin seperti itu (dapur umum di India). Kalau di warung, (masyarakat) beli Rp 10 ribu per bungkus nasi kuning, tapi kalau kita bikin sendiri hanya Rp 5 ribu, tapi makan di tempat. Kita sediakan 10 ribu orang dulu.

Teman-teman pengusaha bisa mengadopsi, misalkan 1000 orang setiap hari di setiap provinsi. Hal ini sangat membantu mengurangi kemiskinan, biayanya Rp 5 juta. Kalau 10 ribu orang, (keseluruhan biaya) Rp 50 juta.

100 ribu USD, untuk pengusaha, (nilai tersebut) tidak masalah. Tapi mereka tidak tahu caranya. Seperti kita bikin warung nasi kuning, bangun Masjid, ada pengusaha lain berkenan membiayai (pembangunan) satu masjid. Pembangunan Masjid di Bogor, pa Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian) bangun satu juga di Bogor.

Kegiatan kami murni sedekah dari keluarga. Tapi kalau ada yang mau bantu, silakan. Tapi kalau ada yang meminta-minta sumbangan, mengatas-namakan keluarga kami, itu hoax. *** Liu

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!


lanjut part 2

Continue Reading
Advertisement

Facebook

Advertisement

Tag

Trending

Open chat
1
Butuh Bantuan?
Hello 👋
Ada yang bisa saya bantu?
Pantausidang.com