Scripta
Penjelasan Obstruction of Justice atau Perintangan Penyidikan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) tengah mengusut kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice)

Jakarta, pantausidang – Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) tengah mengusut kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) yang melibatkan sejumlah pihak dalam upaya mengganggu proses hukum terhadap tiga perkara besar: korupsi tata niaga timah, impor gula, dan ekspor crude palm oil (CPO).
Dalam penyidikan, Kejagung menetapkan M Adhiya Muzakki (MAM) sebagai tersangka utama. MAM diduga memimpin tim cyber army beranggotakan sekitar 150 buzzer yang dibagi dalam lima kelompok dengan kode nama “Mustafa”. Tim ini bertugas memproduksi dan menyebarkan konten negatif di media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (sebelumnya Twitter), yang menyudutkan Kejagung dan penyidikannya terhadap kasus-kasus tersebut.
Kejagung mengungkap bahwa MAM menerima total pembayaran sebesar Rp864,5 juta dari pengacara Marcella Santoso (MS), yang juga ditetapkan sebagai tersangka. Dana tersebut digunakan untuk membayar para buzzer dengan honor sekitar Rp1,5 juta per orang.
Upaya Hukum dan Penegakan Keadilan
Kejagung menegaskan bahwa tindakan para tersangka melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tentang perintangan penyidikan. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa maupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun serta denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Memahami Obstruction of Justice dalam Kasus Perintangan Penyidikan
Dalam konteks hukum pidana, obstruction of justice merujuk pada segala bentuk tindakan yang dilakukan untuk menghalangi, merintangi, atau menggagalkan proses penegakan hukum, baik itu penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun persidangan. Dalam sistem hukum Indonesia, meski tidak secara eksplisit menggunakan istilah obstruction of justice seperti di yurisdiksi Amerika Serikat, konsep ini tetap dikenal melalui sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun undang-undang sektoral lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Apa Bentuk Perintangan Penyidikan?
Perintangan penyidikan dapat berupa tindakan menyembunyikan barang bukti, mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu, mengintimidasi aparat penegak hukum, hingga merekayasa alibi untuk melindungi tersangka. Tindakan semacam ini dapat dikenai pidana karena dianggap mengganggu jalannya proses hukum yang seharusnya berjalan objektif dan transparan.
Salah satu pasal yang sering digunakan untuk menjerat pelaku perintangan adalah Pasal 21 Undang-Undang Tipikor yang menyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa maupun para saksi dalam perkara tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.”
Dengan ketentuan tersebut, siapa pun yang terbukti mencoba menghalangi kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, maupun kejaksaan dalam menangani perkara korupsi dapat dijerat pidana berat. *** (Red-Dnl)
Kritik saran kami terima untuk pengembangan konten kami. Jangan lupa subscribe dan like di Channel YouTube, Instagram dan Tik Tok. Terima kasih.