Connect with us

Ragam

Upaya Penyembuhan Pasien, Transfer Happiness Prof. Satyanegara

Kalau sudah banyak pasien, pikiran mumet, cara saya atasinya berbeda (dengan yang lain). Saya terus berpikir keras untuk penyembuhan pasien tertentu.

Jakarta, pantausidang – Sempat meraih penghargaan untuk bidang kedokteran, Achmad Bakrie Award (thn 2011), serta dedikasi intelektual yang tidak semata-mata menapaki perjalanan karir menjadi salah satu pakar bedah otak terbaik cukup panjang, ada beberapa hal pada Prof. Dr. Dr. Satyanegara, Sp.BS mengupayakan penyembuhan pasien.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Di tengah jadual praktik yang padat di beberapa rumah sakit di Jakarta, caranya menyegarkan pikiran atau refreshing agak berbeda dengan ahli-ahli profesional pada umumnya.

“Kalau sudah banyak pasien, pikiran mumet, cara saya atasinya berbeda (dengan yang lain). Saya terus berpikir keras untuk penyembuhan pasien tertentu. Ketika, ternyata dia sembuh, ada proses transfer happiness,” Prof. Satyanegara mengatakan kepada Redaksi.

Sebagian besar pasien yang datang untuk berobat ke rumah-rumah sakitnya, sebagian yang sudah berobat pada dokter lain. Tetapi ada beberapa yang tidak mengalami kesembuhan. Kalau pasien tersebut datang ke tempatnya, ternyata sembuh, ada kepuasan tersendiri. Setelah mendengar keluhan, ia mendiagnosis.

“Kalau pasiennya langsung sembuh, saya semakin semangat, semakin senang. Yang susah, kalau penyakit yang sulit disembuhkan, seperti kanker otak. Ia juga harus dioperasi. Kalau operasi pun, hanya perpanjangan,” kata Prof. Satyanegara.

Kadang, ada pasien umur 30 an tahun sekian, terbilang usianya masih produktif. Ia menderita tumor, dan sudah berobat ke beberapa dokter. Akhirnya setelah dengan pengobatan menggunakan radioterapi, salah satu bentuk pengobatan kanker dengan radiasi yang diarahkan ke satu titik untuk mengecilkan tumor atau membunuh sel kanker, akhirnya dosis terapi radiasinya berkurang.

“Control terakhir, tumornya hilang, bikin saya semangat. Ada proses pencampuran obat anti kanker untuk chemotherapy. Dia masih sangat produktif, anaknya masih kecil. Melihat kondisinya, rasa sympathy saya keluar, dan bikin saya semakin semangat, tantangan juga,” ujarnya.

Tapi akhir-akhir ini, pasiennya rata-rata sudah berusia tua. Ia tergerak untuk terus mendidik staf-staf dokter muda. Sehingga sebagian pasien sudah mulai mencari dokter-dokter (muda) yang dulunya pernah bergabung dengan Prof. Satyanegara.

Namanya (dokter muda) sudah dikenal, dan sempat berobat di rumah sakit tertentu.

“Ternyata banyak yang berhasil, beban saya juga berkurang. Sebaliknya, kalau kesana tetap tidak sembuh, (pasien tersebut) datang ke tempat saya, minta second opinion. Biasanya (penyakit) yang berat,” ucapnya.

Hal lain terkait dengan upaya penyembuhan, yakni pasien yang datang dari daerah. Mereka punya beban yang lebih besar, terutama untuk biaya transportasi. Sebagian besar, mereka naik pesawat terbang menuju ke Jakarta untuk berobat. Prof. Satyanegara ikut memikirkan kondisi pasien dari luar kota.

Bahkan, ada anggota keluarganya ikut datang ke Jakarta. Kalau dirawat, butuh satu kamar dan terbatas. Sehingga ada kebijakan manajemen rumah sakit untuk pelonggaran. Karena kalau pasien menginap di hotel, biayanya menjadi sangat mahal.

“Dulu, waktu saya masih muda, tidak memikirkan hal-hal seperti ini. Saya tidak memikirkan kondisi keluarga pasien. Sekarang, saya selalu menyempatkan diri memikirkan, bukan hanya pasiennya, tapi juga keluarga yang mendampingi (datang dari daerah),” kata Profesor kelahiran 85 tahun yang lalu.*** Liu.

 

 

 

 

Facebook

Advertisement

Tag

Trending

Open chat
1
Butuh Bantuan?
Hello 👋
Ada yang bisa saya bantu?
Pantausidang.com