Connect with us

Ragam

Natalius Pigai: Polri dibawah Jenderal Listyo Sigit Sadar Watak Humanis Jadi Ujung Tombak Raih Kepercayaan Masyarakat

Mantan Anggota Komnas HAM Natalius Pigai Apresiasi kinerja kapolri

Pantausidang, Jakarta- Mantan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengatakan Polri dibawah pimpinan Jenderal Listyo Sigit sadar betul bahwa watak humanis kepolisian merupakan ujung tombak penegakkan hukum untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat kembali.

“Menjadi ujung tombak institusi ini agar kembali mendapat kepercayaan masyarakat. Polri dengan kata lain membawa misi besar pengarusutamaan (mainstream) Hak Asasi Manusia dalam pelayanannya kepada masyarakat,” kata Pigai sapaan akrabnya melalui pesan elektronik kepada pantausidang, Selasa, 11 Januari 2022.

Menurut Pigai, dibawah Listyo, penegakan hukum dilakukan dengan tegas namun tetap humanis. Polri juga memberi pesan bahwa penegakan hukum utamanya hadir untuk memberikan rasa keadilan dan bukan penegakan hukum yang semata-mata dalam rangka kepastian hukum.

“Bukan hanya itu, aspek penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia tampak dalam komitmen Listyo Sigit berada di garis depan dalam mengawal kebebasan sipil sebagai roh demokrasi,” ujar Pigai yang juga aktifis Demokrasi.

Pigai melanjutkan, lalu apa bentuknya? Kapolri dalam banyak kesempatan selalu menekankan strategi pemolisian yang mengutamakan soft approachdan bukan terutama pagelaran kekuatan (show of force)yang cenderung menunjukkan watak determinan Polri di hadapan masyarakat selama ini.

Polri paham bahwa era demokrasi yang membawa agenda besar Hak Asasi Manusia tidak lagi memperlakukan rakyat sebagai obyek penguasaan tetapi subyek kekuasaan.

Perubahan orientasi tugas dan peran kepolisian yang selama ini cenderung ‘menertibkan’ masyarakat menjadi ‘bersama masyarakat menciptakan ketertiban’. Polri seperti terus diingatkan Listyo harus mampu memenuhi harapan rakyat atau berorientasi pada kepentingan rakyat.

Bahkan dalam beberapa kesempatan dia juga mengingatkan bahwa polisi adalah pelayan rakyat. Implementasinya jelas, watak arogan kepolisian tak boleh lagi ada, polisi yang cendrung mencari-cari kesalahan masyarakat dan mengutamakan kekerasan tak boleh lagi diberi tempat. Jika perlu harus mendapat tindakan tegas. Selain itu, karakter humanis kepolisian oleh Listyo juga diterjemahkan antara lain melalui optimalisasi peran polisi wanita (Polwan) yang menurut dia memiliki peran penting dalam mewujudkan aparat kepolisian yang humanis dan dekat dengan masyarakat. Di sisi lain, garis kebijakan yang memberi tempat terbuka dan luas bagi peran Polisi Wanita di internal kepolisian memperlihatkan komitmen Listyo pada isu kesetaraan gender yang basis argumentasinya juga menginduk pada pengarusutamaan Hak Asasi Manusia.

Seperti kata Lystio saat membuka “The 58th International Association of Women Police Training Conferencedi Labuan Bajo, Flores, pada 7 November lalu. “

Jika kita mau mengubah pandangan diskriminatif terhadap perempuan, maka kita harus memulainya dari penyelesaian stereotip dibidang profesi kita yaitu keamanan dan penegakan hukum.

“Arahan Kapolri juga jelas ketika dia menempatkan Polsek-Polsek yang berada di garis depan pelayanan kepolisian melakukan reposisi peran yang tidak lagi berurusan dengan tugas penegakan hukum melainkan preemtive dan preventive yang fokus pada langkah-langkah pencegahan dan mengedepankan penerapan restoratif justice.

“Polri di bawah Lystio juga punya perhatian besar pada kebijakan afirmatif kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan kaum disabilitas. Jika diringkas, komitmen Hak Asasi Manusia oleh Kepolisian merupakan langkah maju dari salah satu upaya menuju Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan),” tuturnya.

Perlu Dukungan Masyarakat Sipil dan Dunia Pers

Hal-hal di atas tentu tidak lahir dari ruang kosong kata Pigai. Basis HAM yang dibangun Polri hari ini selain muncul dari tuntutan masyarakat, juga merupakan konsekuensi logis dari penghargaan Hak Asasi Manusia terkait kebebasan sipil, yang di dalamnya juga melekat institusi pers.

“Jika kita cermati, reaksi publik yang selama ini protes terhadap aksi polisi tidak humanis dan abai terhadap Hak Asasi Manusia, telah memunculkan gambaran atau citra polisi yang otoriter, represif dan tidak menghargai kebebasan sipil dan juga kebebasan pers,” katanya.

Masih ingat kasus mural yang berisi kritikan beberapa waktu lalu, telah menimbulkan penilaian buruk bagi polisi karena dianggap membungkam kebebasan masyarakat. Media sosial ramai-ramai menaikkan tagar seakan-akan polisi menjadi musuh kebebasan sipil.

Apa iya demikian? Apa iya Polisi yang sudah punya komitmen mengenakan baju HAM, masih juga dianggap anti kebebasan sipil pada saat yang sama? Mari kita uji. Bukankah kebebasan sipil sesuatu yang tidak mutlak sifatnya karena dia juga dituntut memiliki tanggung jawab etis.

Terhadap apa? Ya, tanggung jawab terhadap kebebasan sosial. Bukankah kebebasan individu setiap warga negara tidak bersifat mutlak sebab dia dibatasi oleh kebebasan individu-individu yang lain?

Ternyata faktanya Listyo sudah melakukan beberapa kegiatan terkait Hari Hak asasi Manusia yaitu lomba Mural, dan orasi kebebasan ekspresi yang melibatkan masyarakat secara masif di 34 Polda. Kebijakan tersebut sebagai implementasi dari peran dan tugas kepolisian berbasis HAk Asasi Manusia sebagaimana diamanatkan berdasarkan Perkap Nomor 9 Tahun 1999 dan juga UU Nomor 40 Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.

Membangun Watak Humanis di Institusi Polri

Jika demikian soalnya, menurut Pigai adalah tugas bersama baik Polri maupun masyarakat untuk memastikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia menjadi pegangan bersama.

Agenda besar pengarusutamaan HAM bukan hanya dituntut pada kinerja Kepolisian tetapi juga pada masyarakat sipil dan institusi pers. Salah satu upaya yang harus dipastikan baik terhadap Polri maupun masyarakat sipil dan pers adalah kerja terus-menerus melakukan internalisasi nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

“Internalisasi nilai HAM bisa dibentuk selain melalui pembelajaran atau pelatihan tentu efektif melalui praktek terus-menerus. Termasuk tidak resisten jika ternyata mendapat aksi korektif,” tuturnya.

Pigai menjelaskan, Polri saat ini punya Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sekarang tinggal bagaimana peraturan ini menjadi nilai yang dihidupi oleh semua anggota Polri. Sama halnya pers disisi lain dituntut untuk menjalankan secara konsekuen panduan kode etik jurnalistik dan prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan setiap tugasnya.

“Internaliasi nilai adalah proyek jangka panjang yang harus muncul dalam pikiran dan setiap tindakan,” ujarnya.

Di sisi Polri, lanjut Pigai, berita baiknya adalah komitmen HAM yang selama ini digaungkan Listyo mulai membuahkan hasil. Terbukti dengan terus menurunnya jumlah pengaduan masyarakat terkait kepolisian di Komnas HAM berdasarkan periode 2013-2021.

Jika pada tahun 2013 laporan msayarakat terkait kepolisian di Komnas HAM sebanyak 1.938 Kasus, pada tahun 2020 turun menjadi 1.122 Kasus dan pada tahun 2021 saat Lystio menjabat turun drastis menjadi 571 kasus.

“Pelan tapi pasti, citra Polisi humanis menjadi branding baru Polri di bawah kepemimpinan Listyo,” pangkas Pigai. ***

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Facebook

Advertisement

Tag

Trending

Open chat
1
Butuh Bantuan?
Hello 👋
Ada yang bisa saya bantu?
Pantausidang.com